Powered by Administrator

Translate

Sabtu, 17 Agustus 2013

Kisah Sakra yang Meninggal dan Terlahir sebagai Keledai, lalu Kembali Lagi Menjadi Raja Para Dewa berkat Berlindung kepada Triratna

所行非常  謂興衰法
夫生輒死  此滅為樂

2. Segala yang berkondisi tidak kekal,
semuanya merupakan subjek kemunculan dan kelenyapan.
Apa yang lahir, niscaya akan mati.
Terhentinya hal ini merupakan kebahagiaan.


譬如陶家  埏埴作器
一切要壞  人命亦然

3. Bagaikan bejana yang dibuat
tukang tembikar yang mengadon tanah:
semuanya pasti pecah [pada suatu hari].
Seperti itu pulalah hidup manusia.


—— Kitab Pepatah Dharma bab I, “Ketidakkekalan”
《法句經·無常品第一》
(T. vol. 4, № 210 hlm. 559a)



CERITA LATAR BELAKANGNYA
Dari bab I Dharmapada-avadāna (Fa-chü p’i-yü ching 《法句譬喩經》, T. № 211):


  Kali ini lima kualitas meninggalkan diri Śakra, raja para dewa sendiri. Ia sadar bahwa hidupnya akan berakhir dan ia akan terlahir kembali di dunia, dikandung dalam rahim keledai seorang tukang tembikar. Apakah kelima kualitas tersebut?
  1. Cahaya tubuhnya padam.
  2. Hiasan bunga di atas kepalanya layu.
  3. Ia tidak merasa nyaman lagi duduk di tempatnya.
  4. Ketiaknya mengeluarkan keringat yang bau.
  5. Debu-debu menempel di badannya.

  Karena kelima hal ini, tahulah ia bahwa karma baiknya telah habis, dan ia merasa amat khawatir. Ia teringat bahwa di Triloka ini hanya Buddhalah yang dapat menolong orang-orang dari segala penderitaan, maka ia pun segera pergi menuju ke tempat Sang Buddha.

  Pada saat itu Buddha berada dalam sebuah gua di Gunung Gr̥dhrakūṭa, sedang duduk bermeditasi memasuki samādhi yang bernama “Pertolongan Universal”. Tatkala sang raja para dewa melihat Buddha, ia pun memberi hormat dengan bersujud ke tanah dan dengan sepenuh hati mengucapkan Tiga Perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan Saṅgha. Belum sempat ia bangkit (dari namaskāra), hidupnya tiba-tiba berakhir dan ia mendapati dirinya menjadi anak dalam rahim keledai betina seorang tukang tembikar.

  Pada saat itu keledai tersebut melepaskan diri dari ikatannya, berlarian di tengah-tengah tembikar, dan memecahkan bejana-bejana. Majikannya memukulnya dan dalam seketika melukaï janinnya (yang merupakan Śakra). Kesadaran Śakra pun kembali ke tubuh lamanya sebagai raja para dewa, lengkap dengan lima kualitas seperti semula. 

  Maka Buddha bangkit dari samādhi-Nya dan memuji: “Bagus, Raja Para Dewa! Sewaktu batas hidupmu hampir berakhir, engkau dapat berlindung kepada Tiga Yang Mulia. Balasan karma burukmu telah selesai dan engkau tidak lagi harus menderita.” Pada saat itu Bhagavan mengucapkan gāthā pujian berikut:

  所行非常  謂興衰法
  夫生輒死  此滅為樂

  Segala yang berkondisi tidak kekal,
  semuanya merupakan subjek kemunculan dan kelenyapan.
  Apa yang lahir, niscaya akan mati.
  Terhentinya hal ini merupakan kebahagiaan.

  譬如陶家  埏埴作器
  一切要壞  人命亦然

  Bagaikan bejana yang dibuat
  tukang tembikar yang mengadon tanah:
  semuanya pasti pecah [pada suatu hari].
  Seperti itu pulalah hidup manusia.

  Mendengar gāthā ini, Raja Śakra pun menyadari esensi ketidakkekalan. Ia menangkap perubahan akibat karma baik dan buruk; ia mengerti asal-mula kemunculan dan kelenyapan. Praktek menuju Pemadaman (Nirvāṇa) pun diturutnya. Dengan gembira ia menerimanya dan memperoleh Srotāpatti-mārga.



anicca Sakka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar