Powered by Administrator

Translate

Minggu, 27 April 2014

DOSA DALAM AGAMA BUDDHA

Kata Pāli dosa memiliki dua padanan dalam bahasa Sanskerta:
  • dveṣa, yang berarti ‘kebencian’, dan
  • doṣa, yang berarti ‘kesalahan’.
Bentuk kedua inilah yang diserap oleh bahasa Indonesia dan, sejak kedatangan agama-agama samawi, kata dosa mengalami perubahan konotasi yang berarti ‘pelanggaran terhadap hukum-hukum/perintah Sang Pencipta, yang menyebabkan kemurkaan-Nya, dan terputusnya hubungan antara si pendosa dengan-Nya’.

Dalam agama Buddha, bagaimana pun, tidak dikenal adanya Tuhan Pencipta. Seseorang tidak berdosa terhadap siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Dosa semata-mata hanyalah ‘kecelaan’ (sāvadya) karena perbuatan buruk yang dilakukan seseorang, yang akibatnya akan diterima olehnya sendiri, tanpa campur-tangan sosok Mahakuasa mana pun.

Dosa/kecelaan dapat dibedakan menjadi tiga. Menurut Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā 《薩婆多毘尼毘婆沙》 (T. vol. 23, № 1440 hlm. 514a):

凡犯罪有三種:
Segala kecelaan ada tiga jenis:
一、犯業道罪  Kecelaan sehubungan dengan karmapatha (karmapathika sāvadya).
二、犯惡行罪  Kecelaan karena kelakuan buruk (durācāra sāvadya).
三、犯戒罪   Kecelaan karena pelanggaran Śīla (sāṃvarika sāvadya).

1.須提那。
Tentang Sudinna.
 
於三罪中,得犯惡行罪,婬是惡法故。
無業道罪,自己妻故。
無犯戒罪,佛未結戒故。
Di antara ketiga kecelaan, ia hanya melakukan kecelaan karena kelakuan buruk, sebab hubungan seksual merupakan dharma yang tak-baik (akuśala).
Ia tidak melakukan kecelaan sehubungan dengan karmapatha, sebab ia berhubungan dengan istrinya sendiri.
Ia tidak melakukan kecelaan karena pelanggaran Śīla, sebab Buddha belum menetapkan śīla.
 
 
2.林中比丘。
Tentang seorang bhikṣu di hutan.
 
得二罪:
得惡行罪,婬是惡法故;
得業道罪,雌獼猴屬雄獼猴故。
不得犯戒罪,佛未結戒故。
Ia melakukan dua jenis kecelaan:
  • kecelaan karena kelakuan buruk, sebab hubungan seksual merupakan dharma yang tak-baik;
  • kecelaan sehubungan dengan karmapatha, sebab kera betina itu adalah istri seekor kera jantan.
Ia tidak melakukan kecelaan karena pelanggaran Śīla, sebab Buddha belum menetapkan śīla.



Kasus pertama bhikṣu yang berhubungan seksual terjadi sewaktu Sudinna bersetubuh kembali dengan istrinya. Di India, merupakan kebiasaan yang lazim bagi para petapa (śramaṇa) untuk hidup membujang/sélibat (brahmacarya) setelah meninggalkan kehidupan rumah-tangga. Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada suatu aturan tunggal yang pasti, yang mengikat/berlaku untuk seluruh sekte śramaṇa. Berbagai sekte śramaṇa memiliki sistém ajaran yang berbeda-beda, dan masing-masing dapat dikatakan merupakan agama tersendiri-sendiri (misalnya: Buddhisme, Jainisme, dsb.). Pada saat itu Buddha sendiri juga belum menetapkan śīla apa pun bagi bhikṣu-bhikṣu-Nya sehingga, ketika Sudinna berhubungan seksual, ia hanya dikatakan berdosa/melakukan kecelaan karena kelakuan buruk.

Sesudah peristiwa tersebut, untuk pertama kalinya ditetapkanlah śīla: bhikṣu mana pun yang berhubungan seksual, telah melakukan pelanggaran pārājika. Namun, kasus-kasus yang terjadi berikutnya mengharuskan bunyi aturan ini direvisi. Pada kasus kedua, seorang bhikṣu yang tinggal di hutan bersetubuh dengan seekor kera betina. Ia pun hanya dinyatakan melakukan kecelaan sehubungan dengan karmapatha (yakni: perzinahan), di samping kecelaan karena kelakuan buruk. Ia tidak melanggar Śīla sebab, setelah kasusnya tersebut, barulah bunyi aturan pārājika itu disempurnakan: bukan hanya hubungan seksual dengan manusia, tetapi sampai dengan hewan pun merupakan pelanggaran pārājika.

Sejak saat itu aturan ini menjadi final sehingga siapa pun yang mengambil disiplin kebhikṣuan, lalu melakukan hubungan seksual, maka secara otomatis ia melakukan kecelaan karena pelanggaran Śīla di samping dua kecelaan lainnya. Selanjutnya, secara berangsur-angsur Buddha mulaï menetapkan berbagai aturan bagi para bhikṣu: baik yang bersifat perintah (cāritra śīla 作持戒) — yang jika tidak dilakukan merupakan pelanggaran Śīla —; maupun yang bersifat larangan (vāritra śīla 止持戒) — yang jika dilakukan merupakan pelanggaran Śīla.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar